Tinjauan Yuridis Penerapan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia DiHubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Gia Alika Pratiwi, Dini Dewi Herniati

Abstract


Abstract. The problem of corruption is quite worrying because it can weaken the social life system, which indirectly weakens the national resilience and the existence of a nation. Acts of corruption are included in the category of criminal acts that are very large and harm the nation and the State in a region. In order to prevent the rise of corrupt perpetrators, corruption laws and their judicial systems are created with the toughest punishment of death penalty. This is explained in Article 2 paragraph (1) and (2) of Law No. 31 Year 1999 of Jo Law No. 20 Year 2001 on Corruption Criminal Act (TPK), but there are still many weaknesses in this article that make the penal sanction never applied . Writing this thesis using approach method of juridical normative and juridical empirical. Sources of data obtained are primary data using interview methods and secondary data obtained from the results of the literature. Data obtained by way of editing, interpretation and systematics data. Based on the research and discussion conducted, and the results obtained are as follows, Article 2 Paragraph (2) of Law No. 31 Year 1999 Jo Law No. 20 Year 2001 which is only limited to certain circumstances such as funds intended for countermeasures hazards, national natural disasters, prevention due to widespread social unrest, the prevention of economic and monetary crises, and the repetition of corruption. Certain circumstances such as the State in a state of danger, the state of a national natural disaster may occur only within 50-60 years as well as the economic crisis, so that capital punishment is difficult to drop. To repeat the crime (recidive), especially for Corruption Crime can not be charged with the provision of recidive in the Criminal Code, because it does not have the criteria of repetition of the crime (recidive) what is like to be subject to sanction of capital punishment. For repetition of crime (recidive) still do not have good legal basic qualification. Based on the above explanation, the conclusions in this study are about certain circumstances and there are still many factors that make it difficult to enforce the sanctions of capital punishment such as: the absence of the standard of how much loss the State can be subject to the punishment of capital punishment, the number of things that relieve corruption suspects, and repetition of criminal acts that are not yet clear what criteria to be subject to the death penalty sanctions. The suggestion that can be given by the writer in this research is suggested to improve the structure of content formulation in Article 2 Paragraph (2) Law No 31 Year 1999 Jo Law No. 20 Year 2001, starting from adding State loss fund standard and qualification about repeating of Criminal (recidive) must be more clear, so that the imposition of capital punishment sanction can be applied maximally.

Keywords: Corruption, Sanction, Criminal Offense

 

Abstrak. Masalah korupsi cukup mengkhawatirkan karena dapat melemahkan sistem kehidupan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Tindakan korupsi dimasukkan dalam kategori tindakan pidana yang sangat besar dan merugikan bangsa dan Negara dalam suatu wilayah. Untuk mencegah meningkatnya pelaku korupsi dibentuklah undang- undang korupsi dan sistem peradilannya dengan hukuman terberat yaitu ancaman hukuman mati. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (TPK), akan tetapi masih terdapat banyak kelemahan dalam pasal ini yang membuat sanksi pidana mati tidak pernah diterpakan. Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data diperoleh adalah data primer yang menggunakan metode wawancara dan data sekunder di peroleh dari hasil kepustakaan. Data yang dipeoleh dengan cara editing, interprestasi dan sistematika data. Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dan hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 yang hanya terbatas pada Keadaan Tertentu seperti dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan. Untuk pengulangan tindak pidana (recidive) khususnya untuk Tindak Pidana Korupsi tidak bisa dikenakan dengan ketentuan recidive dalam KUHP, karena belum memiliki kriteria pengulangan tindak pidana (recidive) yang seperti apa agar bias dikenakan sanksi pidana mati. Untuk pengulangan tindak pidana (recidive) masih belum memiliki kualifikasi dasar hukum yang baik. Berdasarkan penjabaran diatas, kesimpulan dalam penelitian ini adalah tentang keadaan tertentu dan masih terdapat banyak faktor yang membuat sulitnya diberlakukan sanksi pidana mati seperti: Belum adanya standar berapa besar kerugian Negara yang bisa dikenakan sanksi pidana mati, banyaknya hal-hal yang meringankan tersangka korupsi, dan pengulangan tindak pidana yang belum jelas kriterianya seperti apa untuk bisa dikenakan sanksi pidana mati. Saran yang dapat diberikan penulis dalam penelitian ini disarankan untuk memperbaiki struktur formulasi isi dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001, mulai dari menambahkan standar dana kerugian Negara dan kualifikasi tentang pengulangan Tindak Pidana (recidive) harus lebih jelas, agar pemberlakuan sanksi pidana mati dapat diberlakukan secara maksimal.

Kata Kunci: Tindak pidana korupsi, Sanksi, Pidana Mati


Keywords


Tindak pidana korupsi, Sanksi, Pidana Mati

Full Text:

PDF

References


Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.

Dini Dewi Heniarti, military court’s Jurisdiction over Militery Members who Comit General Crimes under Indonesia Militery Judiciary System in Comparation with other counteris, international journal of criminal law criminology, word academy of science, engeneering and technology, Vol:9, No:6, 2015

http://www.waset.org/mamber/dinidewiheniarti, diakses tanggal 6 November 2017.

Hamzah Ahmad dan Anando Santoso, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Fajar Mulia, Surabaya, 1996, Hlm. 211.

Pasal 1 ke 1, undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Sinar Grafika, Jakarta,2000.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

R. Soesilo, Hlm. 37. Tt. Tnp. Ttp.




DOI: http://dx.doi.org/10.29313/.v0i0.8827

Flag Counter     Â